-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kajian Hukum Hak Atas Tanah dan Perlindungan Hukum

Senin, 03 April 2023 | April 03, 2023 WIB Last Updated 2023-04-03T06:46:57Z
Foto: Prof. Dr. H. Triono Eddy, SH, M.Hum  (Direktur Program Pascasarjana UMSU) 

MEDAN | Sumutposonline.com

Studi Khusus Hak Pengelolaan Petisah Tengah, Ditengah Kegalauam Pemegang Eks HGB 

Prof. Dr. H. Triono Eddy, SH, M.Hum  (Direktur Program Pascasarjana UMSU) 

Di tengah ironi dan harapan, masyarakat Petisah Tengah selaku pemegang ex HGB terus berjuang untuk memperoleh keadilan hukum guna mendapatkan kepastian hukum perpanjangan/pembaharuan HGB di atas HPL Petisah Tengah, Pemerintah Kota Medan. 

Semakin memprihatinkan kala perjuangan itu terbentur arogansi yang dipicu polemik aturan perundang- undangan atas klaim “aset” yang dijadikan “tameng” pihak Pemko Medan. Pemko Medan mengklaim langkahnya untuk memberikan Hak Sewa Tanah adalah “legal”. 

Sebagai Akademisi Hukum,Prof . Dr. H. Triono Eddy, SH, M.Hum  terpanggil untuk memberi pandangan hukum atas “misteri hukum” yang membutakan masyarakat. Pandangan Hukum ini nantinya, sedapat mungkin akan menguak tirai permasalahnnya dan berharap kita mau kembali menyelesaikan permasalahan tanah yang terjadi sesuai dengan UUPA Nomor 5 1960, yang telah mengakhiri rezim Agrarisch Wet 1870. 

Hak Atas Tanah Dalam UUPA
Polemik dikalangan praktisi dan akademisi, suatu soal yang terus jadi bahan perdebatan adalah, apakah Hak Pengelolaan merupakan hak atas tanah? Mengacu kepada UUPA Nomor 5 1960, tentu harus dijawab HPL bukanlah hak atas. 

Hak Pengelolaan pertama kali dikenal dalam PP No. 8 tahun 1953. Kemudian bagaimana pula dengan Hak Sewa Atas Tanah, apakah UUPA mengenalnya? Kembali kepada UUPA, maka dalam Penjelasan, disebutkan bahwa Hak Sewa Atas Tanah adalah “hak yang bersifat sementara”. 

Sifatnya yang sementara, menjadikan Hak Sewa Atas Tanah tidak lagi dimasukan sebagai Hak Atas Tanah. Mengapa? Sifat Hak Sewa Atas Tanah yang merupakan warisan rezim Agrarisch Wet 1870 adalah penindasan. Rezim ini mengatakan tanah-tanah yang tidak jelas kepemilikanya diambil dan dimiliki Negara. Jiwa hukum colonial, tidak diambil over dalam UUPA Nomor 5 1960. Negara bukanlah “eigenaar” atau “pemilik tanah”. 

Negara hanya mengatur hubungan hukum kepemilikan tanah. Sejak UUPA maka Negara tidak lagi dipandang sebagai pemilik tanah. Kewenangan untuk mengatur hubungan hukum berupa regulasi dan kebijakan dalam bidang pertanahan, adalah hak prerogatif merupakan kewenangan sepenuhnya Kementerian ATR BPN. Mendagri atau pihak lain tidak diberi kewenangan untuk mebuat regulasi atau kebijakan pertanahan. 
Mendagri sebagai pihak yang menanungi Provinsi, Pemko/Pemkab di Indonesia, tentu tidak dapat melakukan “klaim” sepihak berlindung dibalik tameng asset. Polemik hukum berkepanjangan antara pihak Pemko Medan selaku Pemegang Hak Pengelolaan dengan masyarakat Petisah Tengah selaku Pemegang ex HGB sebenarnya dapat diakhiri jika kita kembali kepada UUPA Nomor 5 1960. 

Asset 
Undang-undang Nomor 1 2004, menegaskan bahwa ,Barang Milik Negara/daerah adalah barang yang diperoleh atau dibeli atas Beban Anggaran atau dibeli atas Beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Sebagai Peraturan Pokok, telah diterbitkan Permendagri Nomor 19 tahun 2016 dan Peraturan Walikota Medan Nomor 52 tahun 2020 tentang Penggolongan dan Kodefikasi Barang Milik Daerah. 

Hal menarik dalam konstruksi pengertian hukum adalah kata-kata dibeli melalui APBN/APBD atau diperoleh secara sah? Kembali ke historis lahirnya Hak Pengelolaan Nomor 1 1974, tentu tidak terlepas dari rezim Orde Baru. 

Kita tahu pada saat itu berlaku otoriter. Rezim Orba sangat menentukan nasib setiap orang. Bahkan untuk memiliki suatu bidang tanah, Pemerintah dapat secara paksa mengambil tanah milik masyarakat dengan tameng pembangunan, termasuk menerbitkan hak atas tanah HPL Pemko, meski tanpa dasar hukum berupa dibeli dari APBD atau perolehan yang sah. 

Historis lahirnya Hak Pengelolaan Petisah Tengah, dimulai pada tahun 1974, Pemko Medan pada waktu itu memerlukan tanah. Tidak memiliki APBD yang cukup, Pemko Medan “memaksa” Yayasan Perkuburan Tionghoa untuk pindah. Kebijakan ini tentu saja bertentangan dengan hukum. 

Pemko Medan memaksa Kantor Pertanahan Kota Medan untuk menerbitkan HPL Nomor 1 1974. Pemko Medan sebagai bagian rezim Orde Baru tidak lagi menggunakan UUPA Nomor 5 1960 sebagai dasar untuk memperoleh hak atas tanah. Pemko Medan sudah menggunakan pendekatan keamanan. Pemko Medan sesungguhnya menyadari bahwa kebijakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad), kelak akan menjadi masalah hukum. 

Tidak ada bukti otentik tanah HPL Nomor 1 1974 telah dibeli dari dana APBN/APBD serta cara lainnya, yaitu melalui perolehan yang sah, Hibah atau Penguasaan dengan itikad baik, sesuai dengan aturan dalam UUPA Nomor 5 1960 jo PP Nomor 24 1997 jo PP Nomor 18 2021 , tentu terus akan menimbulkan masalah hukum berkepanjangan. Masalah lainnya, karena Tanah/Ruko yang dibeli masyarakat, adalahmerupakan hajat hidup masyarakat Petisah Tengah. 

Tanah dan Rumah dan Ruko di Petisah Tengah, justru dibeli masyarakat dari pihak developer, dan telah banyak menyumbang kemajuan ekonomi Kota Medan, justru Harus berakhir tragis, karena arogansi pihak Pemko Medan yang tidak akan merekomendasi perpanjangan/pembaharuan ex HGB diatas Hak Pengelolaan, yang hanya akan memberi Hak Sewa yang tidak memiliki Right of Disposal. 

Kehilangan hak tersebut, menjadikan masyarakat tidak lagi dapat menggunakan Tanah/Ruko yang dibeli menjadi jaminan utang, yang selama ini diperoleh dari Bank. Tidak ada bukti, bahwa tanah yang diterbitkan HPL nomor 1 1974, dibeli Pemko Medan dari APBD atau diterbitkan dari perolehan yang sah, menjadikan Hak Pengelolaan Nomor 1 1974 Pemko Medan cacat hukum dalam proses pendaftaran haknya, karena itu harus dibatalkan. 

Konstruksi Hukum HPL Pemko Medan
Ada hal yang menggelitik dari pemberian Hak Pengelolaan Petisah Tengah, dimana tanah dan bangunannya justru dimiliki masyarakat. Tentu saja hal ini berbeda dengan Hak Pengelolaan lain yang ada di Indonesia, dimana tanah/ bangunan dibeli dari APBD atau telah diperoleh secara sah oleh pihak Pemko Medan. 

Hak Pengelolaan Pemko Medan Petisah Tengah terbit karena pemaksaan sepihak Pemko Medan kepada pihak Kantor Pertanahan Kota Medan. Ada satu kasus menarik yang hampir mirip dengan Hak Pengelolaan Kota Medan. Dimana Pihak Sekretariat Negara telah mengklaim secara sepihak dan menerbitkan Hak Pengelolaan di atas HGB Hotel Hilton Senayan. 

Sebelumnya HGB Hotel Hilton Senayan telah terbit dahulu. Sewaktu mengajukan perpanjangan, pihak Kantor Pertanahan Jakarta Selatan telah memproses dan menerbitkan Hak Guna Bangunan. Pihak Sekretariat mengajukan tuntutan di Kejaksaan Hukum dan Pejabatnya telah ditahan. Dalam proses gugatan TUN ternyata Mahkamah Agung telah mengeluarkan Putusan, bahwa perpanjangan/pembaharuan ha katas tanah adalah merupakan hak dari penegang HGB, karena itu akhirnya Kakan BPN Jakarta telah dibebaskan dari jerat hukum Korupsi di Kejaksaan Agung. 

Pendaftaran Hak Atas Tanah
Pendaftaran tanah adalah suatu mekanisme penting dan mendasar yang harus dilakukan, agar pihak Pemerintah, dalam hal ini pihak Pemko Medan dapat memperoleh suatu hak atas tanah. Jika memerlukan tanah untuk kepentingan usaha dan pelaksanaan tugasnya, Pemko Medan terlebih dahulu harus mengajukan permohonan hak atas tanah kepada Kantor BPN Kota Medan. 

Pemko Medan harus dapat melampirkan sejumlah persyaratan, terutama dasar yang sah atas kepemilikan assetnya. Pihak Kementerian ATR BPN Kota Medan, terlebih dahulu memeriksa seluruh kelengkapan persyaratan, terutama untukmmemperoleh keyakinan formil, bahwa dasar hukum perolehan haknya, telah dibeli dari APBD atau telah mendapat perolehan tanah secara sah. 

Jika tidak diindahkan, maka tanahnya akan cacat dalam proses penerbitan haknya. UUPA Nomor 5 1960 jo PP Nomor 24 1997 jo PP Nomor 18 tahun 2021 adalah merupakan dasar utama untuk dapat mengabulkan permohonan yang diajukan, termasuk permohonan ha katas tanah oleh Pemko Medan. Tidak diindahkan, maka proses pendaftaran haknya cacat, dan dapat dibatalkan secara administratif. 

Perpanjangan/ Pembaharuan ex HGB 
Bahwa perpanjangan/pembahruan ex HGB di atas Hak Pengelolaan adalah merupakan keniscayaan yang dimungkinkan oleh PP Nomor 18 tahun 2021.Meskipun ada kata-kata ada persetujuan pemegang Hak Pengelolaan. Persetujuan harus diberikan pemegang Hak Pengelolaan, karena ternyata masyarakat telah membeli tanah dan mendirikan bangunan diatasnya berupa Rumah dan Ruko untuk keperluan tempat usahanya. 

Tidaklah dapat dinafikan bahwa ternyata masyarakat Petisah Tengah melalui kegiatan bisnisnya dapat memberi pemasukan yang cukup besar kepada PAD Kota Medan. Apalagi perpanjangan/ pembaharuan ex HGB diatas Hak Pengelolaan yang ternyata punya perbedaan mendasar dengan Hak Pengelolaan di daerah lain yang tanah dan bangunannya dibiayai dari APBD atau telah diperoleh secara sah. Keadaan Hak Pengelolaan terakhir tentu merupakan suatu kemutlkan yang harus dipenuhi Pemegang HGB untuk dapat persetujuan untuk memperpanjang/memperbaharui HGB yang dimilikinya. 

Bagi Pemegang ex Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan Pemko Medan, terbukti tanah dan bangunan justru dibeli/dimiliki masyarakat Petisah Tengah dari pihak Developer. Dalam Akte jual Beli jelas dapat dibuktikan tidak ada dihubungkan dengan pihak Pemko Medan. 

Pembatalan HPL Pemko Medan
Bila ditemukan buktti, suatu bidang tanah yang diterbitkan haknya dan ditemukan bukti bahwa telah cacat dalam proses pendaftaran haknya, dapat dibatalkan Kementerian ATR BPN melalui Kantor Pertanahan Kota Medan. Untuk melakukan langkah hukum, atas penerbitan Sertipikat yang cacat administrative, Kantor Pertanahan Kota Medan sebenarnya tidak perlu menunggu Putusan TUN. 

Jika ditemukan bukti kuat bahwa telah cacat administrative, Kantor Pertanahan Kota Medan dapat menggunakan mekanisme hukum UPA Nomor 5 1960 jo PP Nomor 24 1997 dalam Permen Agraria Nomor 3 1999 jo Permen ATR BPN Nomor 21 tahun 2021 tentang Penanganan Masalah Pertanahan. Sayang tidak ada kemandirian pihak Kementerian ATR BPN, peraturan yang ada justru dibiarkan dan menambah daftar panjangnya masalah dan kasus pertanahan di Indonesia, terutama saat ini adalah kemungkinan diperpanjangnya/ diperbaharui hak atas atas ex HGB di atas HPL, diatas keinginan pihak Pemko Medan memaksakan kehendak untuk menerapkan Hak Sewa Atas Tanah yang justru diakhiri dengan keluarnya UUPA Nomor 5 1960. 

Kepastian Hukum/Perlindungan
Jika ada keinginan dari pihak Pemerintah, Kementerian ATR BPN, Mendagri dan Pemko Medan dan masyarakat Petisah Tengah selaku pemegang ex HGB di atas HPL, maka tidak ada jalan, semua pihak harus duduk bersama. Kembalikan kepada UUPA Nomor 5 1960. Tidak perlu arogansi. Semua harus berniat untuk mendapatkan kepastian hukum atas Hak Pengeloloaan Pemko Medan. Tidak perlu ada pihak merasa benar atau paling kuat. Reformasi 1998, salah satu point entrynya kembali menggunakan hukum sebagai jalan penyelesaian setiap masalah. Disamping hukum dasar adalah musyawarah untuk mencapai kata mufakat penyelesaian permasalahan. 

Penegakan hukum tidak akan tercapai jika regulasi yang ada tidak dimanfaatkan Pemerintah, terutama pihak Kementerian ATR BPN. Tidak ada guna APBN atau DIPA yang dipergunakan untuk membuat sejumlah aturan jika ternyata tidak dimanfaatkan. Kementerian ATR BPN yang saat ini sedang digerogoti sejumlah issue tentang keterlibatan ASN Kementerian ATR BPN dalam Mafia Tanah di Indonesia, dapat menggunakan kewenangan ini untuk merubah citra negatif masyarakat bahwa Kantor Pertanahan Kota Medan tidak lebih dari melegalkan keinginan Pemko Medan. Karena itu segera dicarikan Kepala Kantor Pertanahan yang tidak lagi karena Nepotisme seperti terlihat sekarang ini.
Apapun alasan dari pihak Pemko Medan, masyarakat Petisah Tengah Pemegang ex HGB tentu adalah merupakan pihak yang sangat dirugikan atas kebijakan Pemko yang akan menerapkan Hak Sewa Atas Tanah. 

Tidak ada dasar hukumya dalam UUPA Nomor 5 1960, karena itu masyarakat harus diberi perlindungan hukum atas permasalahan perpanjangan/ pembaharuan ex HGB di atas Hak Pengelolaan Pemko Medan. Perlindungan hukum disini dimaksudkan adalah kepastian ha katas tanahnya.
Semoga tulisan ini dapat menguak misteri kepemilikan Pemko Medan atas Hak Pengelolaan Nomor 1 Petisah Tengah dan dapat menjadi langkah awal kepada semua pihak untuk mencari jalan terbaik penyelesaian masalah perpanjangan/pembaharuan HGB diatas HPL Nomor 1 1974 Pemko Medan.

(Ryan/SPOL) 
×
Berita Terbaru Update